DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi undang-undang (UU) lewat rapat paripurna hari ini, Selasa (11/7). RUU berformat sapu jagat (omnibus law) itu disetujui 6 dari 9 fraksi di DPR. Dua fraksi menolak dan satu fraksi memberi catatan.
Ketua DPR, Puan Maharani, menyebut, enam fraksi menyetujui pengesahan RUU ini. Mereka adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKB, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP. Fraksi NasDem menyetujui pengesahan dengan sejumlah catatan, sedangkan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menolak penuh.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, yang mewakili Fraksi Demokrat, menjelaskan 3 alasan fraksinya menolak RUU Kesehatan. Menurutnya, ada sejumlah persoalan mendasar dari RUU Kesehatan yang disahkan wakil rakyat.
Pertama, urai Dede, kebijakan pro kesehatan dengan penerapan minimal 5% dari APBN yang diamatkan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hendaknya ditingkatkan jumlahnya.
Untuk itu, kata dia, Partai Demokrat dalam rapat panitia kerja (panja) memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan (mandatory spending) di luar gaji dan penerima bantuan iuran (PBI). Namun, usulan itu tidak setujui.
"Pemerintah justru menyetujui mandatory spending kesehatan dihapuskan. Hal itu semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat," kata Dede.
Fraksi Partai Demokrat menilai, mandatory spending sektor kesehatan masih amat diperlukan, terutama untuk menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam rangka mencapai tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dalam RPJMN 2020-2024 ditetapkan sebesar 75,54%. Namun, IPM 2022 baru 72,91%.
Kedua, kata Dede, Fraksi Partai Demokrat menilai ada indikasi liberalisasi tenaga kesehatan (nakes) dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan. Fraksi Partai Demokrat tidak antikemajuan dan keterbukaan tenaga asing. Namun, kata dia, perlu mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi, seperti pembiayaan dan dampak, yang dikhawatirkan semua pihak.
"Fraksi Partai Demokrat mendukung sepenuhnya kemajuan praktik kedokteran dan hospitality, termasuk hadirnya dokter asing. Namun, tetap mengedepankan prinsip resiprocal bahwa seluruh dokter Indonesia, baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri, diberikan pengakuan yang layak dan kesempatan yang setara dalam mengembangkan kariernya. Begitupun dengan dokter asing yang ingin berpraktik di Indonesia, harus tunduk dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," papar dia.
Diungkapkan Dede, fraksinya memahami adanya keinginan untuk menggalakkan investasi di sektor kesehatan demi kepentingan ekonomi. Namun, kata dia, sebuah undang-undang dan kebijakan kesehatan terlalu berorientasi pada investasi dan bisnis bukanlah hal baik.
Ketiga, urai Dede, Fraksi Partai Demokrat menilai selama proses penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan kurang memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup panjang. Pembahasan terkesan sangat terburu-buru.
"Jika ruang dan waktu dibuka lebih panjang lagi, kami meyakini bahwa RUU ini dapat lebih komprehensif, holistik, berbobot, dan berkualitas. Berdasarkan catatan penting itu, diiringi semangat keberpihakan terhadap rakyat Indonesia, Fraksi Partai Demokrat menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang pada pembicaraan tingkat II," kata dia.
Suara PKS
Fraksi PKS yang diwakili anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani, menjelaskan, RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI). Pasalnya, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law mengatur pemanfaatan nakes dan tenaga medis warga negara asing (WNA).
"Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima," ujar Netty.
Menurut Netty, perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan nakes secara hukum. Baik keselamatan, kesehatan, keamanan, maupun harkat dan martabat tenaga medis dalam negeri.
"Perlindungan ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka," kata Netty.
Fraksi PKS juga menyoroti mandatory spending yang dihapuskan. Padahal, kata Netty, mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup.
"Selain itu, juga agar ada jaminan anggaran kesehatan yang dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat," jelas Netty.